Oleh: Akhyar
Hadi, Mahasiswa Univ. Islam Madinah angkatan 1433 H
Juara I
Kategori: Lomba Karya Tulis Bebas Pekilo UIM
Lelaki itu seperti lelaki tua biasa. Biasanya lelaki tua sepertinya
ditemui di lambung Masjid Nabawi, sebagai jamaah umroh akibat terlalu lama menunggu giliran haji. Atau
lelaki tua sepertinya ada di sawah, kelelahan mencangkul walau matahari baru
naik setengah.
Bisa juga lelaki sepertinya kita temui sedang duduk-duduk di teras sambil
menghias pot bunga, membersihkan rumput, dan menanam pohon kecil di pekarangan.
Atau, kalau kita menyaksikan berita banjir di TVRI, lelaki seperti ini biasanya
diwawancarai karena terlambat mendapat jatah bantuan mie instan. Dia jenis
lelaki yang mudah didapati. Lelaki tua yang biasa ditemui dalam kehidupan
sehari-hari.
Diusianya yang sudah memasuki kepala enam, wajar jika seluruh rambut di
kepalanya memutih. Tiap-tiap helai itu adalah gambaran masalah yang dilaluinya,
guratan-guratan kerut di wajahnya adalah lambang goresan waktu yang jemawa.
Tangan kanan dan kirinya tak lagi sekuat dulu. Bahunya yang dulu kekar, kini
mulai kurus dan membungkuk. Ototnya lemah. Kadang dia beristighfar sambil menarik napas
panjang ketika lelah. Tapi kawan, matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi
pesona dirinya. Matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang
mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong. Seseorang yang biasa kucium
tangannya. Ayah, kupanggil ia.
...
Ayahku adalah ayah pada umumnya. Ayah yang ketika aku kecil, menyediakan
tempat duduk istimewa untukku saat karnaval kota malam Idul Fitri. Dia mendudukkanku di
bahunya, digenggamnya erat kakiku agar nyaman saat duduk. Tak ia pedulikan
karnaval itu. Karena
tawaku adalah karnaval baginya. Bahagiaku adalah iringan semangat hidupnya.
Aku juga masih kecil saat itu. Ayah hanya seorang supir truk batubara di
pedalaman Kalimantan. Bekerja selepas Isya lalu pulang sehabis Shubuh. Ayah adalah
lelaki pendiam, tak banyak bicara. Tak suka memukul. Tak pandai ia marah. Walau
begitu, ayah adalah tolak ukur tindakan bagiku, contoh hidup tingkah laku. Tak
pernah ia cerewet menyuruhku salat. Ia hanya mengerjakan, lalu mengajakku
bersamanya. Sesederhana itu, Kawan. Ia juga sangat ingin aku sering-sering
membaca Al-Quran,
walau tak pernah ia menyuruh. Walau tak pernah ia mencontohkan cara membaca Al-Quran. Kau tahu kenapa,
Kawan? Karena kutahu, ia pun terbata membacanya.
Biasanya aku menghabiskan waktu bersama ayahku tiap akhir pekan. Aku
senang berada di bak truk besarnya. Beliau duduk bersamaku sambil bercerita.
Tentang para pahlawan, tentang panorama-panorama, bintang dan planet-planetnya,
tentang semesta, juga tentang kota-kota yang pernah disinggahinya. Dia senang
bercerita tentang banyak kota, dan aku tahu kota impiannya adalah Mekkah dan
Madinah. Jauh, jauh di lubuk hatinya ia mendambakan kota itu melebihi kota
manapun di dunia. Walau dia tak mengatakannya langsung, tapi aku tahu dengan
sendirinya, seolah ada bahasa lain selain bahasa lisan, bahasa yang dijalin
antara seorang anak dan ayahnya dari hati ke hati.
“Ayah ingin sekali pergi haji.”
Begitu kiranya jika kata itu diucapkan.
...
Aku masih muda, sedang ayah menua. Semenjak krisis ekonomi, harga
batubara anjlok. Ayah dengan setumpuk masalah keuangan yang menimpanya
bangkrut. Truk besar tua kami mogok. Rusak. Sekarat. Seolah bosan terlalu lama
memikul bongkahan-bongkahan batu hitam langka. Tak bisa lagi diperbaiki karena
tak ada biaya. Ayah tak bisa lagi bekerja. Ayah menganggur bertahun-tahun
lamanya.
Ayah pun sekarang menikmati masa tuanya dengan belajar banyak dari agama.
Sering pergi ke kajian-kajian ilmiah. Rajin ia membaca. Berlama-lama dengan
kumpulan buku dan majalahnya. Jiwa tua itu masih sangat antusias. Sesuatu yang
tak ia dapat selagi muda. Matanya, iya matanya, selalu membulat ketika
menjelaskan kalau bid’ah
itu semuanya sesat. Walau kata-katanya sedikit, aku dibuatnya percaya kalau
semua kesesatan itu tempatnya di neraka. Dia juga orang paling mengamati tiap
senti celana. Dijaganya agar aku tak menjulurkan pakaian melebihi batasnya.
Ayah sangat senang pergi ke masjid. Tak pernah absen ia ke sana. Tubuh tuanya
itu mendadak kuat jika berjalan sebelum waktu Shubuh yang dingin, dan
jika ia pergi ke masjid sebelum Maghrib,
maka ia akan datang ke rumah setelah Isya.
Dengan kaki-kaki tuanya. Hampir satu kilometer jauhnya.
Setelah lulus sekolah menengah atas di sebuah kota di Banjarmasin, aku
merantau belajar menjadi mekanik handphone
dan komputer di tempat pamanku, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah
setahun di sana dan merasa punya
skill, aku kembali ke Banjarmasin dengan tujuan bisa kuliah sambil
membuka sebuah toko service
handphone dan komputer. Aku mulai membeli alat-alat service,
juga iklan di sana-sini. Mendadak, aku terkenal dengan julukan tukang handphone.
Aku menjalankan bisnis ini pelan-pelan, dari pintu ke pintu. Mulai dari
keluarga sampai orang-orang di sekitarku. Pelangganku pun bermacam-macam, Kawan.
Dari tukang kambing, pedagang asongan, pengangguran, ustadz, ibu rumah
tangga, sampai mahasiswa. Kau tahu, Kawan, kenapa mereka senang aku memperbaiki
telepon tangan mereka? Jawabannya adalah karena mereka bisa menentukan garansi
semau mereka.
Namun hari itu, Kawan, hari itu adalah hari aku bersama ayah pergi ke
sebuah majelis taklim, di mana setelah memberikan tausiyah, seorang ustadz menawarkan beasiswa bagi lulusan SMA yang ingin
menghafal Al-Quran di
Bogor. Ayah menunduk. Didengarnya iklan itu dengan seksama. Aku melihat
matanya.
“Ayo kita pulang, Yar.”
Mata teduhnya tak bisa mengecohku. Sembilan belas tahun menjadi anaknya
tentu aku mengerti maksudnya.
Ia ingin Aku lebih baik darinya. Bisa membaca Al-Quran dengan sempurna. Tak seperti dirinya yang terbata.
Namun tak bisa ia meminta. Ia masih tak banyak bicara.
“Saya mendaftar beasiswa itu, Yah. Kalau diterima Saya langsung berangkat
ke Bogor.”
Kulihat matanya membulat. Wajahnya berseri seketika.Walau tanpa kata,
namun ada senyum di sana. Bagiku, melihatnya tersenyum adalah sebuah harta.
...
Dan akhirnya aku benar-benar mendapatkan beasiswa itu. Walau aku tahu,
aku sebenarnya tidak bisa membaca Al-Quran
dengan baik, setidaknya aku akan berusaha. Setidaknya aku akan belajar untuk
membuatnya bangga. Aku ingin mengajarinya, membaca Al-Quran bersamanya. Walau aku sadar, Aku hanya seorang
tukang service handphone.
Tapi Kawan, bukankah Syaikh Albani yang nama beliau sering kujumpai di
buku dan majalah ayahku juga pernah menjadi seorang mekanik jam?
Hari itu aku meninggalkannya merantau lagi ke pulau Jawa. Setelah mencium
tangannya, aku memeluknya. Hangat sekali peluknya, seperti selimut bagi seorang
gelandangan kota Malang yang kedinginan. Jam dua malam.
“Hati-hati, Yar.”
Ia masih tak banyak berkata. Namun pelukannya itu bermakna. Nasihatnya
mengandung harapan besar. Harapan agar anaknya bernasib lebih baik darinya. Dan
begitulah seorang ayah seharusnya.
...
Aku merantau, menuju pulau Jawa. Tak muluk aku ingin jadi orang yang
hafal Al-Quran, bagiku
bisa membaca Al-Quran
dengan baik saja sudah lebih dari cukup. Mungkin bisa menjadi imam di kampung
saat tarawih dengan ayahku menjadi makmum saja, aku sudah sangat bahagia. Karena aku telah berjanji
membuatnya bangga. Tapi karena Allah, tetap menjadi niat yang utama.
...
Musim-musim berganti, setiap tahun aku pulang sekali. Mengunjungi ayah
yang kurindui setiap hari. Ayahku adalah anak keenam dari empat belas bersaudara.
Semuanya kaya raya kecuali dia, semua sudah naik haji kecuali dia.
Kini, setelah ia
tak lagi memiliki perkerjaan, harapannya untuk naik haji hilang pelan-pelan.
Namun bukan ayah namanya jika kehilangan semangatnya, dengan sedikit uangnya ia
ikut mencicil TV kabel berlangganan, yang mana dibayar urunan beberapa keluarga
dalam satu perumahan. Dengan TV tabung tahun 1998, dicarinya channel Mekkah dan Madinah. Di
saat ia tidak berada di masjid, maka acara dua stasiun TV Arab Saudi itulah
teman kesukaannya. Ia senang memonton sambil bersandar pada sebuah kursi. Jika
ia bosan dengan siaran di Mekkah, maka digantinya ke siaran stasiun Madinah,
jika bosan lagi, maka akan kembali ke stasiun semula. Terus berpindah seperti
itu. Layaknya metromini jurusan Blok M-Pasar Minggu yang tak singgah
ke terminal lain. Jika si tukang kameramen mengambil gambar Masjid Nabawi, lalu
menyorot karpet hijau antara mimbar dan makam Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassallam, maka bibirnya bergerak, seolah ia sedang meminta, berharap agar
doanya diterima. Lain lagi jika sang kameramen menyorot ka’bah, maka
ayah bangun dari sandarannya, dipasangnya kacamatanya agar tak samar
pandangannya, seolah ia membayangkan dirinya berada di sana lalu mengitari
rumah tua itu dengan bahagianya. Dipandangnya ka’bah dan beberapa bagian Masjidil Harom dengan haru, lalu diliriknya wajahku, seolah
berkata,
“Kau lihat, Yar.. itu prosesi umroh.
Lihat Yar! Lihat Baitullah,
itu kiblat kita. Tahukah engkau, Anakku, Ayah sangat ingin ke sana. Ayah ingin
mencium hajar aswad,
Ayah ingin berlari-lari kecil seperti orang di Shafa dan
Marwa itu, Yar.. Lihat! ”
Aku kelu. Pria pendiam ini juga menyimpan cita-citanya dalam diam.
Yang membuat pilu di hatiku semakin ngilu adalah ketika melihatnya di
masjid bergaul dengan teman-teman seumurannya yang semuanya juga sudah pernah
menunaikan ibadah haji. Adalah adat di kampung kami bahwa sebuah pemuliaan
panggil memanggil dengan sebutan “haji”. Teman-temannya kadang memanggil ayah
dengan sebutan haji hanya untuk memuliakan ayah yang umurnya terlihat lebih tua
dari mereka. Aku mafhum, ayah kelu di hatinya. Ingin ia seperti
teman-temannya. Panggilan itu hanya fatamorgana untuknya. Seperti melihat air
di aspal nun jauh, semu, tak ada apa-apa.
Pernah suatu hari ayah menolong seseorang di jalan. Orang itu berterima
kasih sembari mendoakan,
“Terimakasih, Pak. Semoga Bapak cepat naik haji,” lirihnya.
Hari itu aku melihat ayahku tersenyum. Senyum itu, Kawan, senyum itu
begitu dalam maknanya, untukku dan untuknya. Untuknya karena doa itu masuk ke
hatinya lalu ia berharap agar di-ijabah
Tuhan pemilik timur dan barat. Untukku, karena aku ingin sekali
melihat ayahku tersenyum lagi, seperti hari ini, aku ingin sekali ayah pergi ke
rumah Allah. Tuhan pemilik arah kiblat.
...
Di tengah perantauanku di Pulau Jawa. Setelah berganti-ganti pondok tahfizh
beberapa kali, aku bermukim di Jogja. Hari itu, aku menelpon ayah, mengabari
bahwa ada tes penerimaan mahasiswa baru Universitas Islam Madinah. Pria tua itu
terperanjat. Lalu membanjiriku dengan kata. Bercerita ia, tiap detail katanya
adalah semangat dan intonasinya berupa letupan-letupan motivasi. Ia laksana
merapi yang menumpahkan seluruh larva. Mencurahkan apa yang ia rasa. Ia
berjanji akan memberiku apapun yang kuperlukan untuk bisa ikut tes perguruan tinggi
yang ia katakan sebagai universitas Islam terbaik di dunia. Aku pun
terperanjat. Ganjil sekali, seolah itu bukan ayahku yang pendiam.
Dan yang paling membuatku haru adalah ketika ia berkata, “Jangan pikirkan
masalah uang, Nak, jangan pikirkan. Ayah yang akan mencarikan. Insya Allah.”
Terisak ia.
Kau tahu, Kawan, ayahku sekarang hanya supir ambulan sebuah masjid, itu
pun terkadang. Tak setiap hari ia dapat uang. Ia berjanji akan menyisipkan
namaku dalam setiap doanya, di sepertiga malamnya. Setiap harinya.
...
Hari itu dua puluh dua tahun usiaku. Berada di pedalaman Jawa selepas
salat Shubuh. Aku
bersama dua orang temanku, Isnan dan Mukhroji. Kami baru saja mengikuti tes
masuk Universitas Islam Madinah di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor,
Ponorogo. Kami memutuskan pulang setelah Shubuh. Nahas, pedalaman Ponorogo itu bukanlah Bogor yang
angkot bisa lewat 24 jam. Kami menunggu sampai matahari meninggi. Berharap ada
tumpangan transportasi.
Mukhroji cemas, ia harus secepatnya sampai ke Tegal karena ada suatu
urusan keluarga. Berkali-kali pemuda tinggi ini menoleh ke sana-kemari berharap
angkutan pedesaan segera datang. Sebentar duduk, ia bangkit berdiri, lalu
menoleh lagi. Kawanku ini mungkin mendapat musykil yang berat dalam
keluarganya. Lain lagi si Isnan, pemuda ramah asal Klaten ini ingin cepat
pulang karena hampir setiap hari di sini ia memakan pecel khas Jawa Timur. Yang
mana efek sampingnya adalah bosan, tak selera makan, dan sedikit mengganggu
pencernaan. Pemuda terakhir, yaitu Aku, dengan alasan yang sama dengan Isnan.
Karena kami membeli makanan secara patungan. Di pagi itu, kami menunggu dengan
kumpulan rasa bosan.
Namun di ujung jalan, sayup-sayup bayangan kecil muncul, membesar dan
kian dekat dengan tiga orang malang tadi. Bayangan itu menjadi nyata berupa
sebuah mobil besar, gagah, dan nyaring bunyinya. Sebuah truk. Namun wajah dua
temanku datar. Berbeda denganku yang sumringah tiap melihat sebuah truk.
Kulambaikan tangan, girang aku. Berteriak-teriak seperti anak kecil yang baru
pertama kali melihat ayunan di sebuah taman bermain.
Truk itu berhenti. Aku membuka pintu. Seorang pria di sana. Tak terlalu
muda. Kutaksir empat puluhan umurnya. Pandangan matanya, seolah sudah tahu
sebelumnya bahwa tiga orang di pinggir jalan itu hanya akan merepotkannya.
Wajahnya sangar. Mimiknya kasar. Otot-otot badannya besar. Ia mirip tukang
pukul seorang pejabat yang baru saja dilantik menjadi bupati.
Namun semua itu mencair ketika aku menatap matanya. Seolah ia melihat
sesuatu di wajahku. Wajah yang seolah bicara. Berbicara bahwa ayahku adalah
supir truk seperti dirinya. Dia pun seolah mengerti apa yang kubahasakan lewat
wajah. Mungkin ada bahasa yang kurasa hanya aku dan para supir-supir truk saja
yang memahaminya. Atau mungkin juga karena wajahku memelas dengan sempurna.
“Naiklah!” Ia langsung ramah. Entah kemana si tukang pukul bupati ini
menaruh mimik seram yang diperagakannya sebelumnya.
Isnan dan Mukhroji naik dan duduk disamping sang supir. Hanya bisa untuk
dua orang tempat duduknya. Aku? Ah, Kawan, aku mencari tempat favoritku.
Menaiki bak truk itu. Bak itu hanya persegi panjang dari besi dengan sisa-sisa
pasir berhamburan, melayang dan berputar terbawa angin. Aku duduk di sana.
Hening. Bergoyang-goyang di jalan pedesaan yang bergelombang. Aku melamun. Di
sana seolah ada lorong waktu yang membawaku jauh. Jauh ke masa lalu. Ke masa
kecilku. Bersama ayahku di sebuah bak truk. Aku melihat ia bercerita. Aku
mendengar intonasi khasnya. Aku mendengar suara kecilku tertawa. Aku merasa
tubuh kecilku digendongnya. Wajah mudanya masih kuingat dalam pikiranku.
Sesekali ia bercerita sambil mengusap rambut ikalku. Aku terbuai fantasi. Indah
sekali.
Lorong waktu itu lalu mengembalikanku ke dunia nyata. Aku sendiri di sini
merindukannya. Dalam sebuah bak truk dengan sisa-sisa pasir di dalamnya. Mataku
sakit diserang butiran-butiran pasir yang melayang dalam pusaran angin di bak.
Tapi bukan itu alasanku untuk meneteskan air mata. Air itu jatuh karena aku
rindu pada ayah. Rindu tak terkira.
...
Beberapa musim berganti dengan cepatnya. Banyak hal-hal yang tak pernah
kita kira dan kita duga. Sebuah doa melesat ke langit dan dijawab oleh Tuhan
Pemilik Semesta. Aku akhirnya diterima. Aku dapat beasiswa ke Madinah.
Lagi-lagi aku merantau jauh meninggalkan seorang lelaki tua. Sebelum pergi aku
memeluknya. Ia kembali menjadi dirinya yang tak banyak berkata. Tapi aku tahu,
pelukan itu sudah mengatakan semuanya. Bahwa ia bangga. Ia bangga anaknya bisa
ke kota impiannya. Kota yang sering ia ceritakan. Bahwa ia pun rela jika
seandainya tak pernah bisa ke Madinah, asal anaknya bisa. Anaknya bisa lebih
baik darinya. Bisa berangkat haji. Bisa salat dengan ganjaran ribuan kali. Lalu
kudengar kata keluar dari mulutnya, pujian untuk Ilahi Robbi.
...
Hari ini, di mana aku berdiri, di kota yang mulia ini, adalah giliranku
yang berusaha berbuat untuknya. Aku masuk dalam program persiapan bahasa, dua
tahun lamanya, sebelum bisa kuliah di salah satu jurusan yang tersedia. Berada
di sini adalah level terendah seorang mahasiswa. Aku di sini adalah gabungan
antara kejahilan bahasa dan keberuntungan bisa berada di sini semakin lama.
Kau tahu, Kawan, Kau bisa saja merendahkanku karena hinanya aku di mata
kalian, kita berbeda, Kawan. Aku masih memiliki ayah yang harus kubahagiakan.
Tiap uang yang kuterima kusisihkan, tiap lantunan doa kuselipkan. Aku ingin
pergi haji bersama ayahku. Aku ingin mengitari ka’bah bersamanya. Menuntunnya. Berlari kecil di sampingnya
antara Shafa dan Marwa. Aku ingin membimbingnya.
Aku ingin suatu hari ia melihatku berada di kampus kita, yang ia sangka terbaik
di dunia. Aku ingin ia tahu kalau aku sudah bisa membaca Al-Quran di Masjid Nabawi. Aku ingin memanjatkan
doa bersamanya di Raudhoh.
Ingin kuceritakan ia tentang seluk beluk kota ini, kota impiannya. Seperti ia
menceritakan padaku ketika aku kecil.
Kapankah itu? Entahlah, Kawan. Entahlah kapan. Aku hanya ingin melihatnya
tersenyum lagi. Tersenyum saat pergi haji.
…
Ayahku adalah lelaki tua seperti biasanya. Lelaki sepertinya bisa kita
jumpai di mana saja. Tapi bagiku, ayah adalah lelaki istimewa. Aku bertahan di
sini menunggunya. Menunggu keajaiban Tuhan untuknya. Akan tibakah saatnya?
...
Ini adalah cerita sederhana sebuah kata. Kata yang kita semua
memilikinya. Entah kita masih memilikinya, atau telah tiada.
‘Ayah.’
Nb: Cerita diangkat dari kisah nyata seorang
mahasiswa Univ. Islam Madinah angkatan tahun 1433-1434 H. Tulisan ini berhasil
memenangkan Lomba Karya Tulis Bebas dan terpilih sebagai Juara Satu dalam acara
tahunan Pekilo (Pekan Kegiatan Ilmiah dan Olahraga) UIM 1434 H.
.
EmoticonEmoticon